slidegossip.com - Sebagian orang rela mengorbankan iman demi mengejar kepentingan duniawi yang sifatnya sementara. Namun kisah Ibnu Masngud, seorang mualaf dari Mojokerto, Jawa Timur ini membuktikan bahwa iman tak bisa dibayar dengan apapun di dunia ini.
Seperti dilansir dari grid.id (26/5/2020), pria 55 tahun itu merupakan mantan pendeta di sebuah gereja terkenal di Mojokerto, Jawa Timur. Gereja tersebut pernah dibom hingga menewaskan seorang anggota Banser NU yang siaga mengamankan gereja.
Namun Masngud selamat dari insiden itu karena ia buru-buru melarikan diri. Dan siapa sangka, ternyata setelah kejadian itu Masngud justru memeluk agama Islam. Masngud mengaku dapat hidayah setelah melihat bintang berbentuk lafaz Allah di langit malam.
Pria bernama asli Abraham Agus Setiono itu lalu datang sendiri ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, untuk menyatakan keimanannya. Masngud bertemu dengan almarhum KH Idris Marzuki, pengasuh Ponpes Lirboyo. Melihat sosok kyai karismatik itu, seketika membuat tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras. Sang kiai pun merangkulnya dengan hangat. Di hadapannya, Masngud mengucapkan dua kalimat syahadat. "Pas ucapkan kalimat sahadat sempat kesulitan, tapi juga bahagia," katanya.
KH Idris kemudian mengganti namanya dengan Ibnu Masngud (Mas'ud) yang artinya anak beruntung. Masngud memang merasa sangat beruntung. Ia bersyukur memperoleh nikmat yang tiada tara, yakni berupa iman kepada Allah SWT. Karenanya, ia tak memberati dunia lagi setelah beriman.
Ia bahkan tak segan menceraikan istri tercinta yang telah puluhan tahun menemani hidupnya. Ia juga ikhlas melepas darah dagingnya. Alasannya, mereka enggan mengikuti ajakannya untuk memeluk agama Islam.
Bagi Masngud, iman tak bisa ditukar dengan apapun di dunia ini, bahkan keluarga sekalipun. Karenanya ia tak ragu berucap selamat tinggal kepada orang-orang tercinta. Bukan hanya keluarga, Masngud juga meninggalkan segala hasil jerih payahnya.
Seluruh harta, termasuk rumah mewah dan mobil, ia tinggalkan. Ia memutuskan untuk menutup masa lalunya secara total. "Saya tinggal semua, total. Karena saya punya keyakinan, di kehidupan yang baru, semua harus baru," katanya.
Suatu ketika Masngud meminta izin kepada KH Idris untuk ikut Kiai Asyhari Muhammad Al Hasani atau Gus Hari, ulama muda asal Kebumen Jawa Tengah. Sang kiai pun merestui dan meminta Hari untuk membimbing Masngud agar imannya terus terjaga.
Masngud pergi tanpa membawa bekal, kecuali beberapa setel baju dari pesantren Lirboyo. Ia tinggal di pesantren yang diasuh Gus Hari, Ponpes Al Hasani, Desa Jatimulyo Alian Kebumen.
Di usianya yang semakin senja, Masngud masih tetap bersemangat mempelajari Islam. Ia membaur dengan santri lain untuk belajar Al Quran hingga kitab kuning yang menjadi ciri khas pendidikan pesantren, antara lain kitab fikih Fakhul Qorib.
Semakin dalam ia mempelajari Islam, Masngud mengaku keimanannya semakin mantap. "Baca Al Quran sedikit-sedikit sudah bisa," katanya.
Jika dulu hidupnya begitu berjaya saat menjadi pendeta, kini ia hanya warga biasa. Tapi Masngud tak pernah menyesalinya. Gemerlap dunia hanya sekilas atau fana baginya. Yang terpenting baginya adalah bagaimana ia bisa menjaga iman dan memperbanyak amal di sisa umurnya.
Karenanya, ia tak segan menjalani pekerjaan apapun asal halal. Di luar aktivitasnya memperdalam agama Islam dan membersihkan makam, Masngud masih ulet bekerja. Ia dipercaya menjadi tukang kebun di sekolah. Selain itu, Masngud juga tak canggung bekerja menjadi pemulung.
Ia memungut barang rongsokan di tempat sampah yang bisa ditukar dengan rupiah. Bagaimanapun, ia harus bisa mencukupi kebutuhan dasarnya sebagai bekal untuk ibadah. Masngud memang kini tidak punya apa-apa. Kehidupan ekonominya telah berbalik.
Namun ia percaya, di balik kesusahannya, Allah memberikan yang terbaik baginya. "Dulu harta mewah, semua ada, istri cantik. Sekarang secara manusia, saya miskin, tapi hati saya kaya, hidup saya nyaman sekarang," katanya.
Masngud pun merasa anugerah Allah kembali datang padanya. Di usianya yang sudah kepala lima, ia dipertemukan dengan gadis sholehah yang bisa menerima kekurangannya. Sariasih (30), gadis yang memiliki usaha warung kini telah menemani hari-harinya yang sepi. Keduanya sudah mengikat janji suci.
Tak sekadar mendampingi, sang istri pun setia mengajarinya membaca Al Quran. Masngud masih memiliki cita-cita yang belum terpenuhi. Bukan urusan duniawi pastinya. Sebagaimana keinginan setiap umat Islam, ia pun ingin sekali pergi haji ke Baitullah untuk menyempurnakan rukun Islam. "Insya Allah saya ingin ke Baitullah," pungkasnya.