slidegossip.com - Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto menjadi salah satu tokoh yang dibully terkait pernyataannya soal corona dan pemakaian masker. Terawan pernah menyatakan bahwa corona tak akan masuk ke Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa masker hanya untuk orang yang sakit.
Terawan Agus Putranto (boombastis.com)
Namun seperti dilansir dari jpnn.com (26/3/2020),Terawan tertangkap kamera memakai masker saat mendampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk menyambut kedatangan pesawat pembawa alat pelindung diri (APD) dari Tiongkok, Senin (23/3/2020). Akibatnya, Terawan pun banyak dibully netizen.
Namun mungkin belum banyak yang tahu. Di balik perjalanan hidupnya, seperti dilansir dari grid.id (23/10/2019), ternyata Dokter Terawan pernah dipecat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena dianggap melakukan pelanggaran berat.
Sebelumnya, Terawan dikenal sebagai dokter militer yang sudah menjadi Dokter Kepresidenan sejak tahun 2009. Beberapa tahun lalu, pria kelahiran Yogyakarta, 5 Agustus 1964 itu ternyata sempat mendapat sanksi tegas berupa pemecatan selama 12 bulan dari keanggotaan IDI sejak tanggal 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019.
Keputusan pemecatan tersebut diambil setelah sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI yang menilai bahwa Terawan telah melakukan pelanggaran etika kedokteran. "Bobot pelanggaran Dokter Terawan adalah berat, serious ethical missconduct. Pelanggaran etik serius," ungkap Prio Sidipratomo, Ketua MKEK IDI dalam surat PB IDI yang ditujukan kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Seluruh Indonesia (PDSRI) tertanggal 23 Maret 2018.
Dalam surat pemecatan tersebut, IDI juga mencabut izin praktek Dokter Terawan. Lalu apa kesalahan Terawan hingga ia sampai dipecat IDI? Ternyata Terawan dicopot akibat teorinya yang dikenal kontroversial dalam penyembuhan penyakit stroke, yakni dengan metode cuci otak.
Meski begitu, Terawan mengklaim bahwa metode cuci otak yang dilakukannya pernah menyembuhkan 40 ribu pasien. Dokter asal Yogyakarta itu mengaku sudah menerapkan metode mengatasi masalah stroke sejak tahun 2005. "Sudah sekitar 40.000 pasien yang kami tangani," katanya.
Menurut Terawan, tidak banyak komplain dari masyarakat yang ia terima sehingga membuktikan keampuhan metode yang diterapkannya itu. Setelah itu, Terawan menemukan metode baru untuk menangani pasien stroke yang disebut dengan terapi cuci otak dan penerapan program DSA (Digital Substraction Angiogram).
Terawan menjelaskan metode 'cuci otak' itu secara ringkas, yang sebenarnya adalah memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah melalui pangkal paha penderita stroke untuk melihat apakah terdapat penyumbatan pembuluh darah di area otak. Penyumbatan itulah yang bisa mengakibatkan aliran darah ke otak jadi macet dan menyebabkan saraf tubuh tak bisa bekerja dengan baik. Kondisi itu lah yang terjadi pada penderita stroke.
Lewat metode DSA, sumbatan tersebut kemudian dibersihkan hingga pembuluh darah kembali bersih dan aliran darah normal kembali. Cara membersihkan sumbatan pembuluh darah pun bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari pemasangan balon di jaringan otak (transcranial LED) yang dilanjutkan dengan terapi.
Namun menurut IDI, brainwash dan brainspa yang dilakukan Terawan bisa berbahaya dan tidak sesuai pedoman yang sudah teruji. Dalam surat putusan MKEK No.009320/PB/MKEK-Keputusan/02/2018, pelanggaran etik terpenting dalam kasus Terawan ada empat poin.
Pertama, ia mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan dan pencegahan; kedua, tidak kooperatif pada sidang Majelis; ketiga, menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada bukti medisnya; dan keempat, menjanjikan kesembuhan pada pasien.
Namun mungkin belum banyak yang tahu. Di balik perjalanan hidupnya, seperti dilansir dari grid.id (23/10/2019), ternyata Dokter Terawan pernah dipecat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena dianggap melakukan pelanggaran berat.
Sebelumnya, Terawan dikenal sebagai dokter militer yang sudah menjadi Dokter Kepresidenan sejak tahun 2009. Beberapa tahun lalu, pria kelahiran Yogyakarta, 5 Agustus 1964 itu ternyata sempat mendapat sanksi tegas berupa pemecatan selama 12 bulan dari keanggotaan IDI sejak tanggal 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019.
Keputusan pemecatan tersebut diambil setelah sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI yang menilai bahwa Terawan telah melakukan pelanggaran etika kedokteran. "Bobot pelanggaran Dokter Terawan adalah berat, serious ethical missconduct. Pelanggaran etik serius," ungkap Prio Sidipratomo, Ketua MKEK IDI dalam surat PB IDI yang ditujukan kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Seluruh Indonesia (PDSRI) tertanggal 23 Maret 2018.
Dalam surat pemecatan tersebut, IDI juga mencabut izin praktek Dokter Terawan. Lalu apa kesalahan Terawan hingga ia sampai dipecat IDI? Ternyata Terawan dicopot akibat teorinya yang dikenal kontroversial dalam penyembuhan penyakit stroke, yakni dengan metode cuci otak.
Meski begitu, Terawan mengklaim bahwa metode cuci otak yang dilakukannya pernah menyembuhkan 40 ribu pasien. Dokter asal Yogyakarta itu mengaku sudah menerapkan metode mengatasi masalah stroke sejak tahun 2005. "Sudah sekitar 40.000 pasien yang kami tangani," katanya.
Menurut Terawan, tidak banyak komplain dari masyarakat yang ia terima sehingga membuktikan keampuhan metode yang diterapkannya itu. Setelah itu, Terawan menemukan metode baru untuk menangani pasien stroke yang disebut dengan terapi cuci otak dan penerapan program DSA (Digital Substraction Angiogram).
Terawan menjelaskan metode 'cuci otak' itu secara ringkas, yang sebenarnya adalah memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah melalui pangkal paha penderita stroke untuk melihat apakah terdapat penyumbatan pembuluh darah di area otak. Penyumbatan itulah yang bisa mengakibatkan aliran darah ke otak jadi macet dan menyebabkan saraf tubuh tak bisa bekerja dengan baik. Kondisi itu lah yang terjadi pada penderita stroke.
Lewat metode DSA, sumbatan tersebut kemudian dibersihkan hingga pembuluh darah kembali bersih dan aliran darah normal kembali. Cara membersihkan sumbatan pembuluh darah pun bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari pemasangan balon di jaringan otak (transcranial LED) yang dilanjutkan dengan terapi.
Namun menurut IDI, brainwash dan brainspa yang dilakukan Terawan bisa berbahaya dan tidak sesuai pedoman yang sudah teruji. Dalam surat putusan MKEK No.009320/PB/MKEK-Keputusan/02/2018, pelanggaran etik terpenting dalam kasus Terawan ada empat poin.
Pertama, ia mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan dan pencegahan; kedua, tidak kooperatif pada sidang Majelis; ketiga, menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada bukti medisnya; dan keempat, menjanjikan kesembuhan pada pasien.