slidegossip.com - Masalah toa masjid kini sedang jadi perbincangan hangat di kalangan publik. Berawal dari kasus Meiliana yang divonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara gara-gara ia memprotes soal kerasnya suara toa masjid dekat rumahnya saat melantunkan azan. Seperti dilansir dari matamata.com (5/9/2018), terkait masalah suara azan dan aturan tentang toa masjid, Deddy Corbuzier pun akhirnya angkat bicara.
Deddy Corbuzier (foto: indowarta.com)
Meskipun dirinya bukan seorang Muslim, ternyata Deddy Corbuzier justru mengaku senang dengan ketika mendengar lantunan suara azan. Deddy rupanya punya alasan sendiri mengenai hal ini. Menurut Deddy, suara azan itu seperti alarm baginya yang bisa menjadi penanda waktu. "Karena jujur saja, gue kalau dengar suara azan itu senang. Gue sudah lahir dari kebiasaan dengar suara azan. Buat gue itu kayak alarm, jadi buat penanda, 'Oh ini sudah jam segini nih'," ungkap Deddy Corbuzier.
Bahkan saat dirinya sedang bepergian ke luar negeri, Deddy Corbuzier mengaku selalu mencari suara azan. ''Ketika gue pergi ke luar negeri yang gue pikirin adalah ini mana suara azannya. Karena menurut gue, it's like an alarm. Jadi ada alarm, ini udah jam segini nih. Dan, gue nggak masalah soal hal itu,'' ujar Deddy Corbuzier.
Soal penggunaan toa masjid, Deddy Corbuzier pun mengutip perkataan Ustadz Wijayanto tentang adab penggunaan pelantang suara di masjid, salah satunya adalah pada waktu sahur di bulan Ramadhan. ''Membangunkan sahur itu pun mesti hati-hati. Karena kalau ada orang sakit yang seharusnya tidak boleh bangun. Tiba-tiba kaget, itu menjadi bahaya. Niat ingin berbuat baik, malah menimbulkan masalah,'' terang Deddy Corbuzier mengutip penjelasan dari Ustadz Wijayanto.
Dalam tayangan video di YouTube channel-nya, Deddy Corbuzier juga sengaja mengundang Pandji Pragiwaksono, yang pernah menyinggung soal toa masjid dalam leluconnya yang dianggap telah melecehkan umat Islam. Deddy pun sempat menanyakan sikap Pandji yang menolak untuk meminta maaf padahal dirinya sudah dikecam dan dihujat banyak pihak. Pandji mengaku kalau apa yang disampaikan dalam leluconnya itu memang sudah sesuai aturan yang berlaku.
''Jadi peraturan pemerintah itu sudah mengatur dengan jelas toa masjid itu harusnya seperti apa. Ini adalah untuk adzan, untuk pengajian 30 menit sebelum adzan Subuh, 30 menit sebelum adzan Magrib, ada beberapa pengumuman juga yang boleh,'' tutur Pandji Pragiwaksono. Tapi joke (lelucon) gue saat itu soal penyalahgunaan. Misalnya janjian sama ibu-ibu pengajian hari ini pakai kerudung oranye, gitu-gitu. Kadang-kadang anak-anak belajar ngaji sebenarnya tidak ada dalam aturan tapi untuk permasalahan itu lagi belajar ngaji rebutan mikrofon sampai berantem," jelas Pandji di hadapan Deddy Corbuzier.
Seperti diketahui, Kementrian Agama RI telah menerbitkan surat edaran yang berisi aturan tentang penggunaan toa atau pelantang suara masjid. Seperti dilansir dari suara.com (30/8/2018), surat edaran tersebut ditandatangani oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, Muhammadiyah Amin, tertanggal 24 Agustus 2018. Dalam surat edaran tersebut diatur tentang: pertama, memerintahkan semua masjid agar memiliki dua pelantang suara, satu di menara atau luar masjid dan satunya lagi di dalam masjid.
''Pelantang suara di menara luar, diminta hanya digunakan untuk azan sebagai penanda waktu salat, tidak boleh untuk menyiarkan doa atau zikir,'' demikian yang tertulis dalam surat edaran tersebut. Sedangkan pelantang suara yang ada di dalam masjid digunakan hanya untuk doa, namun syaratnya doa yang dibaca tidak boleh dengan suara yang tinggi. Pengurus masjid juga diminya untuk mengutamakan suara merdu dan fasih ketika memakai mikrofon.
Perlu diketahui, surat edaran tentang aturan penggunaan toa masjid itu diterbitkan oleh Mekenag RI setelah seorang ibu bernama Meiliana divonis bersalah dalam kasus penodaan agama di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 21 Agustus 2018 lalu. Majelis Hakim yang saat itu diketuai oleh Wahyu Prasetyo Wibowo menyatakan bahwa Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan di Indonesia terkait ras,
negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan
menurut hukum tata negara.