slidegossip.com - Ini adalah kisah nyata yang terjadi di tanah Arab Sadi. Kota Riyadh di Arab Saudi ternyata menyimpan banyak kisah dan rahasia yang hanya diperlihatkan pada telinga yang mau mendengar dan hati yang mau merasa. Tentu saja hidayah adalah kehendak-Nya dan hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.
Kesuksesan bisa diraih semua orang (foto:wellysfashion.blogspot.com)
Ammar Mustafa dikenal sebagai salah satu muslim kulit hitam yang juga bekerja di sebuah hotel. Beberapa bulan belakangan ia tak lagi terlihat. Biasanya ia bekerja bersama pekerja lain menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh.
Ternyata Amar datang ke kota Riyadh pada lima tahun lalu. Ia datang ke negeri ini dengan tangan kosong, dan nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di kota ini. Saudi Arabia memang memberikan free visa untuk negara-negara Arab lainnya termasuk Sudan, maka Ammar bisa bebas mencari kerja di sini asal punya paspor dan tiket.
Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat. Doa Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah-pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal bersama teman-temannya. Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan. Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.
Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat. Doa Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah-pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal bersama teman-temannya. Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan. Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.
Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat, bulan ketiga hingga tahun-tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir. Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah-pindah di kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana kota yang garang, tapi Ammar tetap bertahan dalam kesabaran.
Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, di hutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah-buahan, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.
Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia, hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Di hampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Di sini hanya terlihat kurma-kurma yang berbuah satu kali dalam setahun.
Ammar seperti terjerat di belantara kota ini. Pulang ke Sudan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di sana, itu tekadnya. Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya di sini. Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan. Tapi Ammar juga manusia.
Di tahun kelima ini, ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman-temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan numpang di tempat teman-temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah. Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan, tekadnya telah bulat untuk kembali berkumpul dengan keluarganya di Sudan.
Saat itu ia tidak memiliki uang meski sebatas untuk tiket pulang. Ia terpaksa menceritakan keinginannya untuk pulang kepada teman-teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik Ammar memberinya sejumlah uang untuk membeli tiket ke Sudan. Hari itu juga Ammar berpamitan pada teman-temannya, ia pergi ke sebuah agen perjalanan di Olaya, Riyadh, untuk membeli tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, negara tetangganya. Saat itu tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.
Akhirnya ia membeli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan. Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya.Tadi pagi ia tidak sarapan , siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan keadaan itu.
Adzan dzuhur bergema, semua toko-toko, supermarket, bank, dan kantor pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security kota berjaga jaga di luar kantor menunggu hingga waktu shalat berjamaah selesai. Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh. Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu, membasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air. Lalu ia masuk ke dalam mesjid, shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.
Hanya disaat shalat itulah dia merasakan kesejukan, Ia merasakan terlepas dari beban dunia yang menghimpitnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui. Shalat telah selesai.
Ammar masih bingung kemana harus melangkah, sedangkan penerbangan masih seminggu lagi. Dilihatnya beberapa mushaf Al Qur'an yang tersimpan rapi di pilar-pilar mesjid yang kokoh itu.
Ammar masih bingung kemana harus melangkah, sedangkan penerbangan masih seminggu lagi. Dilihatnya beberapa mushaf Al Qur'an yang tersimpan rapi di pilar-pilar mesjid yang kokoh itu.
Ia mengambil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca al Qur'an hingga adzan ashar tiba menyapanya, selepas maghrib ia masih di sana. Akhirnya Ammar memutuskan untuk tinggal di sana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.
Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya, seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota. Ia selalu mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa-jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing. Adzan-nya memang khas, hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat subuh berjamaah di sana. Adzan yang juga ia kumandangkan di setiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.
Di tiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya. Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis, Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.
Ammar sudah duduk diruang tunggu bandara, tampaknya penerbangan sediikit tertunda. Ammar melamun dan kecemasan mulai menghantui dirinya. Ia harus pulang tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ia terus bekerja keras. Namun ia memahami, inilah kehidupan dan dunia hanyalah persinggahan sementara. Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam Semesta dengan mengeluh. Ia tetap berjalan walau tertatih memenuhi kewajiban sebagai Hamba Allah, dan sebagai imam dalam keluarganya.
Tiba tiba dari speaker bandara terdengar suara memanggil namanya. Belum hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba datang sekelompok orang berbadan tegap menghampirinya. Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata "Prince memanggilmu". Ammar semakin bingung ada apa Prince memanggilnya?
Kerajaan Saudi memiliki banyak Prince dan Princess (Putra dan Putri Kerajaan) , mereka tersebar hingga ratusan di seluruh jazirah Arab ini dan tinggal di istana masing masing.
Kerajaan Saudi memiliki banyak Prince dan Princess (Putra dan Putri Kerajaan) , mereka tersebar hingga ratusan di seluruh jazirah Arab ini dan tinggal di istana masing masing.
Setiap kali Ammar adzan, Prince selalu bangun dan merasa terpanggil untuk sholat. Hingga suatu hari suara Ammar beradzan tak terdengar lagi. Prince merasa kehilangan dan saat mengetahui bahwa sang muadzin pulang ke negerinya. dia langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar.
Ammar sudah tiba di istana dan Prince menyambutnya dengan ramah sambil menanyakan mengapa Ammar ingin kembali ke negerinya. Lalu ia mulai bercerita bahwa sudah lima tahun bekerja di kota Riyadh tapi tak pernah mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya di Sudan.
Prince mengangguk nganguk dan bertanya: "Berapakah gajimu dalam satu bulan?" Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji berbulan bulan. Prince memakluminya, lalu beliau bertanya lagi: "Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu terima ?" Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun ini. "Alhamdulilah, SR 1.400", jawab Ammar.
Prince langsung memerintahkan bendahara untuk menghitung 1.400 Real dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Lalu Prince menyerahkan uang tersebut kepada Ammar.
Tubuh Ammar gemetar melihat keajaiban di hadapannya, belum selesai bibir mengucapkan Hamdalah, Prince menghampiri dan memeluknya seraya berkata: "Aku tahu cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini, lalu kembalilah setelah 3 bulan. Saya siapkan tiket untuk kamu dan keluargamu kembali ke kota Riyadh. Jadilah Bilal di masjidku dan hiduplah bersama kami di Palace ini."
Ammar tak dapat menahan air matanya, ia bukan terharu karena menerima sejumlah uang walau uang itu sangat besar artinya bagi keluarganya yang miskin. Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh-sungguh memperhatikan hambanya, kesabaran selama lima tahun berakhir dengan indah. Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan Ammar.
Semua berubah dalam sekejap, lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar. tapi nothing imposible for Allah, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Ini kisah nyata yang tokohnya masih berada di kota Riyadh, saat ini Ammar hidup cukup di sebuah rumah di dalam istana milik Prince. Ammar dianugerahi Allah hidup yang baik di dunia, menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.
Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran, karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak di dekat pintu surga dalam naungan keridhaan Nya. Kisah nyata yang memberi pelajaran pada kita semua. Insha Allah yang terbaik akan diberikan Allah pada mereka yang berdoa dengan ikhlas dan terus berusaha.