Di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, tidak sulit untuk mencari pembunuh bayaran atau orang yang bersedia dibayar untuk melenyapkan nyawa seseorang. Mereka umumnya adalah alumni lembaga pemayarakatan (LP) alias mantan napi.
Namun bukan sembarang napi yang bisa direkrut. Menurut mantan preman Anton Medan, ada semacam standar tak tertulis dalam urusan pembunuh bayaran. Mereka lazimnya bekas penghuni penjara kelas kakap seperti LP Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah. Atau 'lulusan' LP Cipinang Jakarta, dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur.
Anton juga mengaku pernah ditawari untuk menghabisi nyawa raja judi Nyo Beng Seng. Menurut dia, seorang calon klien dapat menghubungi siapa pun bekas napi tersebut, apapun latar belakang kejahatan sang mantan narapidana. Bos rekaman Irama Tara Nyo Beng Seng sendiri tewas pada tanggal 15 April 1994.
Bos judi itu berseteru dengan bandar lainnya. Lalu musuhnya itu membayar Agiono dan Sudartono untuk menghabisi Nyo Beng Seng. Keduanya ditangkap beberapa bulan kemudian dan sudah bebas dari penjara tahun 2003.
Menurut Anton, seorang eks napi bisa dikenalkan ke eks napi lainnya yang memang mempunyai kapasitas sebagai pembunuh bayaran. Atau kemungkinan lain dikenalkan ke eks napi lain yang kenal langsung dengan eksekutor.
Sang mantan napi yang berkapasitas sebagai pembunuh bayaran umumnya akan langsung menolak tawaran tersebut. Dan hal itu pun ditegaskan ke para perantara yang mengenalkan sang calon klien ke sang calon pembunuh bayaran. Namun setelah itu, untuk menutupi belang, sang pembunuh bayaran akan membangun kontak dengan penyewa atau perantaranya dan menyatakan kesediannya.
"Hal itu untuk mengurangi saksi. Makin banyak saksi, makin besar kemungkinan kasus terbongkar. Kalau cuma si pembunuh bayaran dan si penyewa yang tahu, maka tingkat keamanannya makin tinggi. Soalnya sang perantara bisa saja membocorkan perjanjian tersebut ke polisi karena sakit hati diberi upah sedikit," terangnya.
"Hal itu untuk mengurangi saksi. Makin banyak saksi, makin besar kemungkinan kasus terbongkar. Kalau cuma si pembunuh bayaran dan si penyewa yang tahu, maka tingkat keamanannya makin tinggi. Soalnya sang perantara bisa saja membocorkan perjanjian tersebut ke polisi karena sakit hati diberi upah sedikit," terangnya.
Walau berisiko tinggi, dalam hal masalah tarif tidak pernah ada standar baku. Besaran ongkos tergantung pada kapasitas klien, dan tingkat kesulitan mengeksekusi target. Jika sang penyewa adalah pebisnis kelas kakap yang menguasai aset triliunan dan motifnya karena persaingan bisnis, lazimnya, targetnya sudah pasti orang penting.
Untuk kasus seperti itu, Anton menganggap harga di atas Rp 3 miliar sangat pantas. Sedangkan jika sang penyewa hanyalah orang biasa, dan korbannya orang biasa pula, tarifnya di kisaran belasan hingga puluhan juta.
Ongkos diperlukan menutupi pengeluaran sang pelaku untuk mengeksekusi korbannya, juga kemungkinan membayar oknum penegak hukum andai pelaku terungkap dan tertangkap.
Setelah ada kata sepakat, sang pembunuh bayaran professional akan menggali informasi sebanyak mungkin dari sang penyewa tentang targetnya. Informasinya menyangkut nama lengkap, alamat hingga kebiasaan sang target sehari-hari. Informasi tersebut dikonfirmasi melalui observasi langsung selama beberapa hari.
Kemudian, sang pembunuh bayaran akan menentukan waktu, lokasi hingga alat yang digunakan untuk menghabisi dan membunuh korban. Pelaku akan menyusun rencana agar eksekusi dapat dilakukan sesingkat mungkin dan saksi seminim mungkin, dan selanjutnya menentukan tempat persembunyian pasca eksekusi.
Pemilihan senjata, kata Anton, juga mempengaruhi kesuksesan aksi. Senjata api genggam jenis pistol maupun revolver lebih sering dipilih dari senjata tajam karena lebih mematikan. Suara letupan senjata api juga merupakan teror tersendiri yang membuat saksi ketakutan dan terdiam sehingga tidak akan menghalangi eksekutor beraksi maupun melarikan diri.
Kalau perlu bawa dua senjata. Jika revolver semacam FN itu gampang macet setelah delapan peluru keluar, masih ada cadangan. "Saya tidak pernah pakai peredam biar efek psikologisnya itu membuat saksi dan korban ketakutan," kata Anton.
Pemilihan kendaraan juga penting. Dulu, saat Anton beraksi, lebih suka memilih sepeda motor. Lalu dia melancarkan operasi saat situasi lalu-lintas padat untuk memudahkan proses melarikan diri sekaligus menyulitkan polisi mengejar. "Kendaran mobil itu biasa dipilih jika lokasinya di daerah-daerah yang jalanannya lengang," tutur Anton.
Catatan Tribun pada sejumlah kasus pembunuhan besar memang pelakunya selalu menggunakan sepeda motor. Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, misalnya, tewas ditembak 26 Juli 2001. Eksekutornya Mulawarman dan Noval Hadad, mengendarai sepeda motor Yamaha RX King. Belakangan diketahui otak pembunuhan tersebut adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto.
Dirut PT Asaba Sakti Bakti (Asaba), Boedyharto Angsono dan pengawalnya, Serka Edy Siyep, juga tewas ditangan pembunuh bayaran bermotor di halaman Gelanggang Olah Raga Pluit Penjaringan, Jakarta Utara pada 2003 lalu.
Begitu pun Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Dia tewas di tangan sejumlah pembunuh bayaran yang mengendarai sepeda motor Yamaha Scorpio di Jalan Hartono Raya Modern Land Tangerang ketika korban berada di dalam mobil BMW-nya, 15 Maret 2009.
Anton menyimpulkan, rata-rata pembunuh bayaran di Indonesia selalu menggunakan senjata api genggam maupun senjata tajam. Lain halnya di daratan Eropa. Modus pembunuh bayaran di benua biru itu secara teknis lebih rumit dibanding Indonesia. Senjata api bukan satu-satunya cara menghabisi target. Pelaku bisa meracuni target maupun merekayasa sebuah kecelakaan.
sumber:tribunnews.com