Di bulan Ramadhan ini, ada tradisi tahunan yang tak bisa dilewatkan begitu saja, yakni mudik lebaran. Inilah peristiwa akbar tahunan yang cukup menghebohkan berbagai kalangan di Indonesia. Mulai dari kalangan pejabat, pengusaha, politisi hingga rakyat biasa, turut angkat bicara soal mudik lebaran ini.
Berbagai proyek infrastruktut mulai dari jalan, jembatan sampai ke hitmix jalan dilakukan demi menyambut pemudik lebaran nanti. Bahkan, tak sedikit kaum politisi turun ke lapangan untuk meninjau persiapan yang sudah dilakukan pemerintah dalam menghadapi arus mudik lebaran ini.
Begitupun di kalangan masyarakat. Mereka berjibaku melakukan berbagai upaya demi persiapan mudik lebaran. Kondisi kendaraan, uang, pakaian, makanan terus dipersiapkan supaya menjelang lebaran nanti semuanya sudah siap. Bukan hanya sampai di sana, tak sedikit dari kita bekerja keras mengepung gedung Bank Indonesia (BI) untuk menukar uang baru supaya nanti bisa dibawa mudik dan kemudian dibagi-bagikan ke kerabat dan handai taulan. Itulah potret perilaku sosial di negara kita yang acap kali terjadi menjelang lebaran.
Melihat fenomena seperti itu terkadang kita terenyuh. Kemudian timbul pertanyaan, "Sedemikian hebatnya kah kita melakukan persiapan mudik?"
Padahal, pada hakikatnya, dalam hidup ini kita akan menghadapi dua mudik yang satu sama lain saling beriringan. Mudik itu terbagi dua menjadi mudik semu dan mudik sesungguhnya. Mudik semu adalah kegiatan kita pulang kampung di hari raya untuk melakukan silaturahmi dengan kerabat dimana kita dulu dilahirkan dan dibesarkan. Sedangkan mudik sesungguhnya adalah mudik atau kembalinya kita untuk menghadap Sang Pencipta alam beserta isinya. Mudik seperti ini sering kita sebut dengan mati atau meninggal.
Bercermin dari dua mudik ini, diharapkan kita bisa melakukan introspeksi diri untuk terus melakukan amal ibadah. Ramadhan yang merupakan bulan penuh maghfiroh diharapkan bisa dijadikan momentum untuk belomba-lomba dalam beramal sehingga kita mampu meningkatkan pundi-pundi kebaikan sebagai modal buat mudik sesungguhnya.
Setiap makhluk hidup niscaya akan mati. Kematian tak bisa dihindari. Hanya amal kebaikanlah yang akan membuat kita siap untuk menghadapi mudik sesungguhnya, menghadap Sang Pencipta.
Dono Darsono, S.S, M.Ag/Poskota;editor:Opung
Begitupun di kalangan masyarakat. Mereka berjibaku melakukan berbagai upaya demi persiapan mudik lebaran. Kondisi kendaraan, uang, pakaian, makanan terus dipersiapkan supaya menjelang lebaran nanti semuanya sudah siap. Bukan hanya sampai di sana, tak sedikit dari kita bekerja keras mengepung gedung Bank Indonesia (BI) untuk menukar uang baru supaya nanti bisa dibawa mudik dan kemudian dibagi-bagikan ke kerabat dan handai taulan. Itulah potret perilaku sosial di negara kita yang acap kali terjadi menjelang lebaran.
Melihat fenomena seperti itu terkadang kita terenyuh. Kemudian timbul pertanyaan, "Sedemikian hebatnya kah kita melakukan persiapan mudik?"
Padahal, pada hakikatnya, dalam hidup ini kita akan menghadapi dua mudik yang satu sama lain saling beriringan. Mudik itu terbagi dua menjadi mudik semu dan mudik sesungguhnya. Mudik semu adalah kegiatan kita pulang kampung di hari raya untuk melakukan silaturahmi dengan kerabat dimana kita dulu dilahirkan dan dibesarkan. Sedangkan mudik sesungguhnya adalah mudik atau kembalinya kita untuk menghadap Sang Pencipta alam beserta isinya. Mudik seperti ini sering kita sebut dengan mati atau meninggal.
Bercermin dari dua mudik ini, diharapkan kita bisa melakukan introspeksi diri untuk terus melakukan amal ibadah. Ramadhan yang merupakan bulan penuh maghfiroh diharapkan bisa dijadikan momentum untuk belomba-lomba dalam beramal sehingga kita mampu meningkatkan pundi-pundi kebaikan sebagai modal buat mudik sesungguhnya.
Setiap makhluk hidup niscaya akan mati. Kematian tak bisa dihindari. Hanya amal kebaikanlah yang akan membuat kita siap untuk menghadapi mudik sesungguhnya, menghadap Sang Pencipta.
Dono Darsono, S.S, M.Ag/Poskota;editor:Opung
semoga bisa jadi renungan buat semuanya