Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) batal berkunjung ke Belanda dengan alasan harga diri bangsa. Hal ini disampaikan presiden SBY kepada media di ruang VIP Bandar Udara (Bandara) Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Presiden SBY dengan raut muka yang kecewa, sedih seperti ingin menangis menyampaikan kunjungannya ke Belanda yang semula dijadwalkan akan berlangsung pada 6-8 Oktober 2010 akan dibatalkan karena adanya tuntutan dari Republik Maluku Selatan (RMS) yang ingin SBY ditangkap dan disidangkan atas dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Indonesia, yakni di Maluku dan Papua. Presiden SBY bisa memaklumi jika seorang kepala negara berkunjung ke negara lain disambut dengan demo atau unjuk rasa, tapi jika seorang kepala negara harus disidang dan ditangkap, beliau tak bisa memakluminya.
RMS menginginkan saat SBY tiba di Belanda akan disambut dengan persidangan kasus pelanggaran HAM dan meminta SBY untuk ditangkap. Advokat negara sempat menegaskan, penangkapan SBY, seperti yang dimohonkan RMS, akan sangat merusak hubungan Indonesia-Belanda. Lagipula hukum Belanda memberi imunitas penuh kepada presiden negara asing jika berkunjung dalam rangka kunjungan kenegaraan. Tak ada ruang bagi pengingkaran peraturan ini.
Ini terkait dengan pernyataan sebelumnya bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan datang sesegera mungkin kalau pengadilan telah menolak permohonan Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda. Dalam tuntutannya melalui Pengadilan Den Haag, RMS mengajukan dua tuntutan.
Tuntutan pertama RMS kepada pengadilan Den Haag, Belanda adalah meminta agar Perdana Menteri Belanda Balkenende menjawab surat dari RMS serta melaksanakan permohonan RMS. Yaitu agar Balkenende meminta kepada presiden SBY agar mau melakukan dialog dengan RMS, meminta agar Indonesia menghormati HAM dan menanyakan di mana makam presiden pertama RMS Soumokil yang dieksekusi Soeharto pada tahun 1966.
Tuntutan kedua RMS kepada pengadilan Den Haag, Belanda adalah agar pengadilan Den Haag memerintahkan penangkapan dan pemeriksaan presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Maluku. Pakar hukum Belanda menilai permohonan ini akan sangat sulit sekali dikabulkan dan lebih bermotif politik ketimbang hukum.
Sementara itu, pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) dalam pengasingan di Belanda menyesal atas dibatalkannya kunjungan Presiden SBY ke negeri kincir angin itu. Namun demikian, tuntutan RMS tetap diproses pengadilan Den Haag. "Kita tidak ingin Presiden Indonesia batal karena kita ingin dibahas di hadapan pengadilan. Kami menyesal jika Presiden Indonesia tidak datang," kata Wakil Presiden RMS, Wim Sopacua.
Wim menuding telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap pendukung RMS yang menjadi tahanan politik di Indonesia. Data ini, kata dia, juga pernah dilansir oleh Human Rights Watch. "Ada 90-an pendukung RMS ditahan dan disiksa seperti binatang," tudingnya. Wim juga meminta pemerintah Indonesia mengklarifikasi mengenai pemimpin RMS Dr Christiaan Robert Steven Soumokil yang tewas pada era Soeharto. "Kita ingin tahu Dr Soumokil ditembak dan dikubur di mana," kata Wim.
Sedangkan Komisi I DPR mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membatalkan kunjungannya ke Belanda. Sebab itu, Komisi I DPR berencana memanggil Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Kepala Badan Intelijen Nasional Sutanto. "Komisi I harus panggil Kepala BIN, Menlu, apa yang sebabkan. Atau pakai mekanisme yang lebih besar," kata anggota Komisi I DPR Yoris Raweyai di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/10/2010).
Politisi dari Partai Golkar ini sangat meyayangkan keberangkatan presiden SBY dalam melakukan kunjungan kenegaraan ini harus batal. "Itu kan bukan serta merta berangkat tapi melalui satu proses panjang secara terintegrasi baik dalam negeri maupun luar negerinya. Artinya, dengan Belanda-nya, Deplu, BIN, TNI," ujar dia.
Menurut Yoris, SBY sudah di atas pesawat baru menyatakan batal. "Kami tidak tahu pembatalan itu, hanya dari media karena isu sidang HAM di Den Haag. Kalau itu alasan satu-satunya, kami tidak terima sebagai bangsa karena ini menyangkut dignity, harga diri bangsa," jelasnya.
Yoris menambahkan, tidak mungkin SBY datang ke Belanda langsung dihadang karena ada pengadilan HAM. "Kami akan coba rapat untuk mencari apa alasan mendasar pembatalan itu. Karena tadi dalam HUT TNI, beliau (SBY) langsung berangkat. Sekarang bagaimana komisi maupun DPR secara keseluruhan untuk mulai bertanya dan ada mekanisme di situ," bebernya.
Lebih lanjut dijelaskan, tidak mungkin pejabat satu negara pergi ke negara lain tanpa ada persiapan sebelumnya. "Kalau ada demo, di mana-mana juga ada. Dulu Clinton ke sini, George Bush ke sini, atau kepala-kepala negara lain, itu biasa. Itu G-20, kepala-kepala negara yang dihadiri Presiden toh aman, nggak ada masalah. Jangan sampai ini dipolitisasi dan menimbulkan implikasi yang negatif bagi bangsa," pungkas Yoris.
Ini terkait dengan pernyataan sebelumnya bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan datang sesegera mungkin kalau pengadilan telah menolak permohonan Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda. Dalam tuntutannya melalui Pengadilan Den Haag, RMS mengajukan dua tuntutan.
Tuntutan pertama RMS kepada pengadilan Den Haag, Belanda adalah meminta agar Perdana Menteri Belanda Balkenende menjawab surat dari RMS serta melaksanakan permohonan RMS. Yaitu agar Balkenende meminta kepada presiden SBY agar mau melakukan dialog dengan RMS, meminta agar Indonesia menghormati HAM dan menanyakan di mana makam presiden pertama RMS Soumokil yang dieksekusi Soeharto pada tahun 1966.
Tuntutan kedua RMS kepada pengadilan Den Haag, Belanda adalah agar pengadilan Den Haag memerintahkan penangkapan dan pemeriksaan presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Maluku. Pakar hukum Belanda menilai permohonan ini akan sangat sulit sekali dikabulkan dan lebih bermotif politik ketimbang hukum.
Sementara itu, pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) dalam pengasingan di Belanda menyesal atas dibatalkannya kunjungan Presiden SBY ke negeri kincir angin itu. Namun demikian, tuntutan RMS tetap diproses pengadilan Den Haag. "Kita tidak ingin Presiden Indonesia batal karena kita ingin dibahas di hadapan pengadilan. Kami menyesal jika Presiden Indonesia tidak datang," kata Wakil Presiden RMS, Wim Sopacua.
Wim menuding telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap pendukung RMS yang menjadi tahanan politik di Indonesia. Data ini, kata dia, juga pernah dilansir oleh Human Rights Watch. "Ada 90-an pendukung RMS ditahan dan disiksa seperti binatang," tudingnya. Wim juga meminta pemerintah Indonesia mengklarifikasi mengenai pemimpin RMS Dr Christiaan Robert Steven Soumokil yang tewas pada era Soeharto. "Kita ingin tahu Dr Soumokil ditembak dan dikubur di mana," kata Wim.
Sedangkan Komisi I DPR mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membatalkan kunjungannya ke Belanda. Sebab itu, Komisi I DPR berencana memanggil Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Kepala Badan Intelijen Nasional Sutanto. "Komisi I harus panggil Kepala BIN, Menlu, apa yang sebabkan. Atau pakai mekanisme yang lebih besar," kata anggota Komisi I DPR Yoris Raweyai di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/10/2010).
Politisi dari Partai Golkar ini sangat meyayangkan keberangkatan presiden SBY dalam melakukan kunjungan kenegaraan ini harus batal. "Itu kan bukan serta merta berangkat tapi melalui satu proses panjang secara terintegrasi baik dalam negeri maupun luar negerinya. Artinya, dengan Belanda-nya, Deplu, BIN, TNI," ujar dia.
Menurut Yoris, SBY sudah di atas pesawat baru menyatakan batal. "Kami tidak tahu pembatalan itu, hanya dari media karena isu sidang HAM di Den Haag. Kalau itu alasan satu-satunya, kami tidak terima sebagai bangsa karena ini menyangkut dignity, harga diri bangsa," jelasnya.
Yoris menambahkan, tidak mungkin SBY datang ke Belanda langsung dihadang karena ada pengadilan HAM. "Kami akan coba rapat untuk mencari apa alasan mendasar pembatalan itu. Karena tadi dalam HUT TNI, beliau (SBY) langsung berangkat. Sekarang bagaimana komisi maupun DPR secara keseluruhan untuk mulai bertanya dan ada mekanisme di situ," bebernya.
Lebih lanjut dijelaskan, tidak mungkin pejabat satu negara pergi ke negara lain tanpa ada persiapan sebelumnya. "Kalau ada demo, di mana-mana juga ada. Dulu Clinton ke sini, George Bush ke sini, atau kepala-kepala negara lain, itu biasa. Itu G-20, kepala-kepala negara yang dihadiri Presiden toh aman, nggak ada masalah. Jangan sampai ini dipolitisasi dan menimbulkan implikasi yang negatif bagi bangsa," pungkas Yoris.